Wirausaha merupakan istilah yang diterjemahkan dari kata entrepreneur. Dalam bahasa Indonesia, wiraswasta awalnya dikenal mempunyai arti berdiri di atas kekuatan sendiri. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi wirausaha dan entrepreneurship diterjemahkan menjadi kewirausahaan. Wirausaha mempunyai arti seorang yang mampu memulai dan atau menjalankan usaha. Pengertian ini kita temui dalam Kamus Manajemen LPPM. Definisi lain tentang wirausaha disampaikan oleh Say. Dia menyatakan, seorang wirausaha merupakan orang yang mampu melakukan koordinasi, organisasi, dan pengawasan. Keputusan seseorang untuk memilih profesi sebagai seorang wirausaha didorong beberapa kondisi. (1) Orang tersebut lahir dan atau dibesarkan dalam keluarga yang memiliki tradisi yang kuat di bidang usaha (confidence modalities). (2) Orang tersebut berada dalam kondisi yang menekan, sehingga tidak ada pilihan lain bagi dirinya selain menjadi wirausaha (tension modalities). (3) Oorang yang memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausaha (emotion modalities).
Penelitian Mc Slelland (1961) di Amerika Serikat menunjukkan, 50% pengusaha yang menjadi sampel penelitiannya (secara acak) berasal dari keluarga pengusaha. Penelitian Sulasmi (1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung juga menunjukkan, sekitar 55% pengusaha tersebut memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha). Keluarga Bakrie, Kalla, dan Aksa adalah contoh populer betapa dari keluarga yang kuat kultur bisnisnya sangat mungkin terlahir wirausaha hebat.
Sedangkan penelitian Mu’minah (2001) atas delapan pengusaha paling sukses di Pangandaran menunjukkan, semua pengusaha tersebut memulai usahanya karena keterpaksaan. Tak sedikit kisah sukses wirausaha lantaran diawali dengan kondisi desakan kepahitan hidup. Kepahitan hidup merupakan energi luar biasa untuk membuat seseorang berjuang mengubah nasib. Ia akan berani memiliki visi untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Visi itulah yang akan menggerakkannya untuk bekerja keras tanpa lelah, mencari peluang tanpa malu hingga akhirnya sukses menghampirinya.
Pada kategori ketiga, menurut Muhandri (2002), emotion modalities merupakan pengusaha yang umumnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Orang yang masuk dalam kategori ini memang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang wirausaha, dengan banyak mempelajari keilmuan (akademik) yang berkaitan dengan dunia usaha. Dalam kategori ini, terdapat pengusaha yang langsung memulai usahanya (merasa cukup dengan dasar-dasar keilmuan yang dimiliki) dan ada yang bekerja terlebih dahulu untuk memahami dunia usaha secara riil.
Mencermati ketiga kategori tadi, kita mendapatkan gambaran bahwa jiwa wirausaha itu bisa didapat dengan berbagai cara. Meskipun memang hasil penelitian tersebut tidaklah salah, mayoritas pengusaha yang sukses ternyata berasal dari keluarga dengan tradisi yang kuat di bidang usaha (bisnis). Sehingga dapat digarisbawahi bahwa kultur (budaya) berwirausaha suatu keluarga, suku, atau bahkan bangsa, sangat berpengaruh terhadap kemunculan wirausaha-wirausaha baru yang tangguh.
Namun, ada satu catatan yang perlu diperhatikan. Kultur ini tidak dapat ditanamkan dalam sekejap. Sangat mungkin para orang tua pebisnis memang sejak dini menanamkan jiwa wirausaha kepada anak-anak. Secara komunal, kultur beberapa suku di Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausaha tangguh yang berasal dari suku tersebut. Namun, tak bisa dipungkiri, secara umum kultur masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi yang relatif “tanpa resiko” (misalnya menjadi pegawai negeri, TNI, polisi, atau bekerja di perusahaan besar).
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun program yang ditujukan untuk menanamkan budaya wirausaha di kalangan generasi muda. Mengapa pemerintah perlu serius menggarap hal ini? Kewirausahaan merupakan salah satu solusi yang dapat membantu menyelamatkan perekonomian masyarakat dan bangsa ini ke depan.
Karena tidak semua orang tua bisa kita harapkan mampu dan mau berupaya menanamkan budaya wirausaha kepada anak-anaknya, akan menjadi penting bagi pemerintah untuk melakukan penanaman budaya wirausaha tersebut dengan sasaran siswa sekolah khususnya dan pada masyarakat pada umumnya. Meski usaha ini tidak mudah, tetapi jika kita mau belajar pada keberhasilan program Keluarga Berencana (KB), hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan.
Pada tataran lain yang lebih operasional, usaha penciptaan wirausaha baru yang tangguh ini akan lebih baik jika dilakukan terhadap lulusan perguruan tinggi yang memiliki dasar keilmuan dan intelektualitas yang tinggi. Hal ini didasari dengan kondisi persaingan usaha di era globalisasi yang menuntut benar-benar kemampuan tinggi seorang wirausaha.
Salah satu pola pengembangan wirausaha yang tangguh dan unggul adalah memberikan pembinaan dan pendampingan melalui inkubasi bisnis. Beberapa perguruan tinggi melalui lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat (LPPM)-nya maupun departemen teknis, telah mengembangkan pola inkubasi bisnis ini. Para tenant diberikan kesempatan dibina dalam periode waktu tertentu. Unit bisnis binaan tersebut diberikan bantuan pendidikan, pelatihan, dan magang yang didukung fasilitas/akses teknologi, manajemen, pasar, modal, serta informasi. Pada sisi inilah kita menemukan argumentasi bahwa wirausaha itu bisa dididik, bukan semata-mata dilahirkan.***
Penulis, Direktur Eksekutif Golden Institute, alumnus Chulalongkorn University Thailand.
Penulis:
Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=79872
http://www.artikelwarnet.net/?p=68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar